MANUSIA DI TUBUH PENYAIR
Lupakan sejenak tentang aku bisa menulis, bisa merangkai kata dan atau memaksamu menyelami puisi-puisiku yang berujung hal itu menenggelamkanku ke dasar ujub.
Aku tidak suka kebanggaan semacam itu.
Aku lebih suka kerendahan hati yang mampu membuatku merasai penderitaan lebih mudah dengan hatiku yang rapuh.
Toh menjadi apapun itu adalah mau tidak mau akan memaksamu pada suatu konsekuensi berupa sifatmu yang menurun atau perjalananmu yang menanjak.
Kau bisa melahirkan sukses tanpa capek-capek berkeringat dulu, bersetubuh dulu dengan para petinggi.
Kau bisa merendah serendah-rendahnya tanpa kau harus menunduk dulu, mencium dulu kaki penguasa.
Tidak semua itu.
Genggam penamu, rasai sunyimu dan rangkai huruf-huruf yang kau curi dari intuisimu yang sialan dan atau ingatanmu yang keparat.
Semua itu.
Lalu mungkin sekonyong-konyong di tengah kepercayaan diri ini seseorang dengan isi kepalanya datang kepadaku dan mengatakan;
"Kau tinggal di negeri hukum yang segalanya dapat diproses di pengadilan dan lalu berujung di balik jeruji."
Iya, benar begitu.
Aku mengaminkan, aku setuju, tetapi aku tidak mau, tidak ingin.
Tidak ada kritikan.
Aku tidak mau mengkritik siapapun juga.
Aku menahan diriku menjadi penyair sakit.
Aku membiarkan diriku menjadi perempuan luka.
Selebihnya aku takut terbang terlalu tinggi karena sebetulnya saja tulisan ini tergurat karena aku yang tiba-tiba perlahan mengakui diriku sebagai seseorang karena seseorang ingin menjadi seseorang di hidupku.
Aku siapa?
Dia siapa?
Manusia.
Hanya itu pada akhirnya.
Kamar Sempit, 22 Januari 2022
Komentar