MENGANIAYA TULISAN SENDIRI
Di suatu momen aku seperti menyadari bahwa tulisan-tulisan yang kubuat hanyalah semacam kambing hitam atau pion dari kegagalan dan media membangun citra bahwa aku tidak gagal, sebisa mungkin.
Menyisakan tidak hanya ketidakpercayaan diri saja di sana melainkan juga pertanyaan seperti; aku siapa dan mengapa harus aku.
Aku siapa?
Sehingga aku harus berada di sini dan menulis ini untuk kemudian dibaca oleh orang-orang banyak di luaran sana.
Mengapa aku harus menulis ini jika aku bukanlah siapa-siapa.
Mengapa harus aku?
Sehingga di antara milyaran manusia di muka bumi ini mengapa tulisan tersebut harus ditulis oleh jemariku, dipikirkan oleh otakku, dirasai oleh hatiku.
Mengapa aku harus membawa ini ke permukaan, mengapa tidak kusimpan saja untuk diriku sendiri.
Menyisakan hal ini yang entah akan disebut proses kontemplasi yang melahirkan kesadaran diri atau bentuk tidak percaya diri yang elegan.
Aku, tidak, tahu.
Aku hanya "mau" menulis.
Kata mau di sini kuberi tanda petik dua karena aku akan menulis ketika mau, saja.
Seperti yang sudah kubicarakan perihal ide kemarin yang memunculkan satu 'asumsi nyeleneh' dari seseorang.
Namun, bukan itu, kita lanjutkan.
Pemikiran seperti di atas berkaitan dengan kalimat di awal mengapa aku sampai menganggap tulisanku seperti pion dan atau media membangun citraku yang tidak gagal sebisa mungkin.
Hal tersebut tentu saja karena aku akan menulis hanya karena aku mau, kalau tidak mau, aku tidak akan menulis.
Aku yakin ini akan terdengar seperti bocah berumur 4 tahun ketika disuruh menghabiskan makan siangnya sedang ia tidak mau, hanya tidak mau saja.
Aku pun demikian, seperti bocah yang tidak mau makan; menulis ketika mau.
Jadi, karena kupikir mau di sini adalah bentuk keegoisan yang bersifat pribadi maka sebaiknya yang lahir darinya pun harus disimpan untuk konsumsi pribadi saja.
Namun, kemudian otakku lebih jauh menyelam adalah bahwasannya di sini kita berbicara tentang sebuah tulisan yang memiliki kelas di bidangnya.
Ya, terlepas dari nilai estetika dan bentuk abstrak yang kurang terlihat, terasai, atau terpahami maka ini adalah karya pada akhirnya.
Di mana ketika mendengar kata "karya" terlontar maka yang ditangkap oleh benakku adalah "apresiasi."
Aku perlu mengapresiasi tulisanku lebih dulu lalu kemudian ia kubawa keluar untuk orang juga bisa melakukan sama.
Walaupun, lagi-lagi ini bukan perihal ekspetasi, jangan, jangan sering-sering berekspetasi.
Walapaun, lagi-lagi ini perihal aku yang mengapresiasi tulisanku, jangan, jangan menganiaya tulisan sendiri.
Kamar Sempit, 20 Januari 2022
Komentar