MENULIS SAMPAI MATI
Ada apa dengan Chairil Anwar?
Ada apa dengan Charles Bukowski?
Sedang sosoknya adalah penggerak di mana awal mula aku menemukan "AKU" sebagai puisi yang melahirkan puisi di masa aku duduk di bangku SMA saat itu.
Aku menulis saja, mengarsipkannya pada komputer sekolah yang sekarang mungkin sudah berakhir entah di bumi mana.
Aku tidak membaca sosok Chairil Anwar lebih jauh; bagaimana ia yang menghabiskan hidupnya dengan obat-obatan terlarang atau ia yang diisukan plagiat terhadap karya lagi-lagi entah siapa.
Aku tidak tahu apa-apa kala itu selain larik-larik "AKU" yang berbunyi,
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya yang terbuang
Biar peluru menembus jantungku
Aku tetap meradang menerjang
Biar bisa kubawa berlari
-Chairil Anwar dalam puisi AKU, 1943
Aku hanya mengingat sebanyak itu di mana ia adalah larik-larik patah yang ditangkap oleh intuisiku sebagai keresahan atau kemarahan terpendam dari seorang Chairil Anwar.
Aku aminkan karena itu seperti marahku, itu seperti resahku sebagai remaja 16 tahun.
Lalu selanjutnya ada Charles Bukowski yang membuatku menghapus blog tempo lalu karena menonton videonya yang berjudul,
"If You Wanna Be A Writer."
Meski sudah kuikrarkan di 10 tahun lalu bahwa aku ingin menjadi penulis.
Meski "AKU" sudah cukup menghantam pikirku untuk menorehkan puisi-puisi kala itu, aku tetap saja gentar dan culun.
Menghapus blog dan menyudutkan diriku yang mungkin akan terdengar seperti jalan paling konyol yang pernah kuambil di tengah perjalanan yang kusebut karir ini.
Kemudian sekonyong-konyong di suatu hari berikutnya aku mendapati diriku kecanduan dengan sosok beliau untuk mencari tahu biografinya dan malah tidak pernah terbesit untuk mencari tahu lebih akan kemalangan hidup Chairil Anwar sampai akhir hayatnya.
Walau begitu, perihal beliau aku akhirnya menyadari setelah mencari tahu di mesin pencari Google bahwa sebagian tulisan atau bahkan isi kepalaku, caraku memberontak dalam tulisan bisa dikatakan serupa dengannya, serupa dengan Chairil Anwar.
Walau begitu, aku meperingatkan bahwa untuk tidak mengatakan aku plagiat atau semisalnya dikarenakan hal tersebut.
Ya, antologi puisi "Perempuan Luka" bisa dikatakan sangat sevibes dengan gaya kepenulisan beliau untuk beberapa judul puisinya, beberapa saja, tidak semua.
Karena jujur saja ketika menuliskan puisi-puisi tersebut di tahun-tahun belakangan aku tidak sama sekali mencari tahu lebih jauh mengenai beliau; karya beliau, sepak terjang beliau di dunia sastra.
Tidak lain karena saat itu bisa dikatakan aku tidak memiliki identitas yang pasti; tubuh seperti Naurah, pola pikir seperti Lika.
Lalu terhitung sejak masa SMA aku telah menulis sekitar 10 lebih judul puisi yang kritis dan berfilosofi tetapi akhirnya lenyap.
Lantas di tahun 2019 kemarin aku menulis pula hampir 20 puisi yang lagi-lagi lenyap.
Tetapi aku cukup tidak peduli;
Aku mau menjadi penjahit diksi
Aku mau menulis sampai mati
Kamar Sempit, 20 Januari 2022
Komentar