KEHIDUPAN YANG ABSURD (7)

Aku menyaksikan siang menjelma malam, malam menjelma siang silih berganti seolah masa tak peduli dengan segala kemelutku hingga aku menghabiskan lebih banyak waktu untuk terlelap daripada harus mati terbunuh oleh kesedihan.

Tetapi seharusnya aku mulai berpikir bahwa meski aku adalah satu-satunya yang terlihat sedih di sini, akan ada banyak air mata yang tumpah setelah mendengar ocehanku-maksudku adalah air mata kemenangan dari kebisaanku mengatasi kesedihan.

Manusia.

Mereka ini sejenis apa?

Aku bertanya dalam kesedihan yang teramat sunyi. 

"Mereka adalah spesies paling tidak masuk akal yang pernah kukenal dan dikenali yang sebenarnya aku enggan tetapi keenggananku hanya bisa kusimpan dalam benakku saja lekat-lekat."

Kali ini sebuah suara pelan tapi jelas sedang berbicara kepadaku dengan argumentasinya yang menyebalkan.

Tetapi tak pelak pernyataan tersebut mengingatkanku pada suatu kisah di tepi danau-mungkin danau dalam khayalanku.

Namun, biarkan aku menghentikan persolan tentang danau tersebut, kali ini aku ingin berbicara mengenai sesuatu hal yang berhubungan dengan manusia.

Ya, di suatu sore aku berhenti dari keinginanku menjadi manusia.

Seseorang di sini telah menyadarkanku sehingga aku menulis catatan ini seketika :

"Aku tahu isi kepala semua orang adalah seperti itu.

Mereka berpikir bahwa aku adalah manusia yang hanya mau benar sendiri dan yang paling pintar; seolah semua manusia selain aku pastilah bodoh dan salah.

Apa pantasnya coba aku hidup?

Ada?

Tidak ada.

Setelah aku menuliskan catatan terakhir ini, aku ingin pulang dengan tenang.

Mengapa?

Agar mereka benar dan aku yang salah.

Agar aku berhenti belajar dan jadilah bodoh.

Ya, satu-satunya cara untuk kedua itu adalah dengan mati.

Juga, aku tidak ingin (lagi) menjadi bagian dari kehidupan yang absurd ini, tidak."

Namun, aku sadar-lagi-lagi aku sadar bahwa entah ocehanku, atau ocehan si orang tersebut, toh pada akhirnya keduanya sama tidak masuk akalnya sehingga aku tidak perlu memasukaannya ke dalam kepalaku untuk dinalari pikiranku; otakku yang kusut.

Maka, aku bangun untuk melipat selimut dan melanjutkan tulisan-tulisan yang menyembunyikan aku di dalam huruf-hurufnya sehingga kesedihanku menjadi tak tampak oleh siapapun; tidak juga aku.

Rumah Kakak, April 2023

Komentar

Postingan Populer