MAUT DI MULUTKU (4)

Aku terus bergumam soal kematian yang mengintip diam-diam. Aku tahu itu karena selalu menyadarinya yang mana mungkin sebentar lagi kepalaku sepertinya akan memuntahkan segala isinya dan malaikat maut siap membersihkan muntahan tersebut.

Sekarang aku tengah diam di sebuah ruang gelap milikku tanpa cahaya seperti biasa.

Angin berhembus sedikit kencang dan seseorang datang mengabarkan sesuatu saat aku hendak berpindah ke ruangan lain.

Ia mengatakan padaku jika hari itu-katanya, di neraka banyak wanita kesepian yang merintih dan mengerang.

Mereka merasakan pedihnya kesepian yang dibawa dari dunia hingga ke neraka.

Lalu aku berkata,

 "Apa kau melihat bayanganku di sana.".

"Tidak. Tidak tampak iris coklatmu yang menjadi pengenal awal ketika melihat dirimu ada di sana."

"Mungkin aku belum sampai." 
Intuisiku menyuarakan firasatnya di dalam sana.

"Jadi kapan kau akan kembali ke neraka."

"Aku akan kembali setelah mengabarkan ini pula ke yang lain-mereka yang didera kesepian."

"Tidak. Tidak. Aku tidak didera kesepian. Kesepian yang memelukku agar tak lepas karena aku mengengam temannya yang bernama kesedihan."

"Kau masih keras kepala juga ya."

Bergegas ia pergi setelah kalimat itu menutup basa-basi kami tentang kabar yang ia sampaikan padaku.

Aku menutup segala yang terbuka dan kembali menuju persembunyianku.

Di sana kesedihan dan kesepian telah menungguku-membentangkan keempat tanganya, keduanya memelukku erat.

"Sudah, aku sesak napas dan akan mati. Aku benci dia akan datang menemuiku dan membawaku pergi dari kalian."

Aku melepaskan keduanya dan memilih melanjutkan gumamanku yang sempat tertunda tadi.

Kali ini ia tidak datang kembali.

Jika kau bertanya siapa ia, maka biar kutuntaskan dulu perenunganku soal kematian malam ini sebelum matahari menyengatku besok karena aku tidak suka baunya.

Aku mengedarkan pandangan dengan was-was. Sepertinya kecemasanku tentang Ia tidak juga akan berkurang sampai kapan pun.

Aku kembali pada pandangan awalku. 

Meski di sana hanya berisi kegelapan, tetapi kematian pun kegelapan bagi jiwa yang terang dan cahaya bagi jiwa yang gelap.

Seperti kematian adalah bungkusan permen yang ingin kau buang tetapi ia akan terpungut juga oleh seseorang dan kau akan tetap membeli permen yang sama dengan bungkus yang sama.

Aku benci perumpamaanku sendiri.

Seandainya kematian adalah bungkus permen, maka apakah permen tersebut akan kita namakan kehidupan sehingga segala yang hidup terkungkung dalam cangkang bernama kematian?

Kematian?

Apa aku sebut saja ia akhir dari perjalananku atau permulaan aku dilahirkan?

Aku masih terus bergumam tapi kali ini lebih keras hingga dapat membangunkan tetangga jauhku-hutan ini terlalu sempit untuk sebuah rumah yang penuh dengan perabotan dan pernak-pernik di dalamnya.

Kadang kala kegelapan hutan adalah kematian yang membuatku ngeri tetapi gumamanku tidak akan pernah berhenti bahkan setelah melewati kegelapan hutan tersebut.

Hentikan itu.

Aku masih tidak menemukan jawaban juga. 

Sampai pada akhirnya mataku menutup dan mulutku tak lagi mengeluarkan gumaman apapun; pertanyaanku akan terus terendap di dalamnya.

Benar.

Tak ada yang bisa menyembuhkanku selain kematian itu sendiri; sendiri dalam kematian dan aku tidak lagi keasinan karena air mata.

Kematian-rupanya ia begitu dekat denganku.

Rumah Ibu, Desember 2022

Komentar

Postingan Populer